Senin, 12 Maret 2012

Cerita dari Kampung diatas Rawa

Pagi ini sedikit mendung, tapi tak hujan. Kami telah tiba di pelabuhan kecil dipinggir Sungai Meriam. Menelusuri sungai yang panjang seakan tak berujung. Lambaian daun nipah dipinggir sungai seakan menyambut atau bahkan mereka sebenarnya muak melihat tongkang batubara yang setiap hari hilir mudik dengan angkuh. Ini sebuah ketidak adilan, puluhan tongkang tiap hari membawa batu bara melalui sungai sedangkan sepanjang jalan di Kaltim hancur tak tertambal.
Mulutku hanya bisa diam, tersumpal dengan rasa kekaguman yang luar biasa atas karunia Tuhan, atas sungai yang elok, pohon yang indah, dan orang-orang yang tercipta luar biasa, yang mau dan mampu tinggal jauh diatas gemuruh air. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa memikirkan kata-kata yang bisa kurangkai untuk mengungkapkan semua ini. Deretan pipa-pipa gas tersambung sampai lepas pantai. Sesekali speed boat hilir mudik memecah riak sungai, puluhan tongkang  kosong berjajar rapi.
Tak pernah terbayang diujung sungai nanti ada kampung yang ramai seperti kota diatas air. Tapi ini nyata, keterbatasan tak terlihat, rumah-rumah diatas rawa berjajar melingkari jalan ulin yang licin karena gerimis dan berjajar rapat. Toko-toko kelontong, toko baju sampai toko peralatan bangunan lengkap sudah ada yang jual, tabung gas, sampai kulkas dan alat listrik lainnya ada yang punya, entah kapan mereka bisa menggunakannya kalau listrik hidupnya dari Magrib sampai jam 7 pagi. Kami sampai di kampung ini beberapa saat sebelum sholat Jum`at. Kampung ini cukup agamis, hari Jum`at mereka libur tidak mencari ikan. Anak sudah pulang sekolah, sudah ada sekolah dasar sampai SMP. Syukurlah setidaknya anak-anak kampung ini biarpun jauh dari daratan kota masih bisa mengenal namanya sekolah.
Tuan rumah yang kami datangi sangat baik dan ramah, orang bugis kelihatannya. Kami dimasakkan berbagai masakan khas penduduk pinggir sungai, kepiting saos, udang goreng, ikan bakar dan kerupuk udang bikinan sendiri. Ibu yang punya rumah banyak bercerita tentang anak-anaknya (yang paling bontot kembar) dan kehidupan warga kampung. Warga kampung sebagian besar adalah nelayan dan petani tambak, yang unik kebiasaan janda-janda di kampong ini, setiap habis subuh sampai petang mereka menyelusuri sungai hanya untuk memacing ikan, udang, kepiting dan mencari getah damar. Saat aku ijin ke belakang untuk pipis, ibu yang punya rumah, “Ibu kami belum punya WC, begini seadaanya”, tapi yang membuat aku terkejut biar tidak punya WC tapi punya mesin cuci dan Happy Pan yang selama ini hanya pernah aku lihat dari iklan ditv lokal. Ah……ini karena sudah maju atau termakan kemajuan jaman yang semakin edan.
Kampung ini bersebelahan dengan perusahaan besar yang mengebor gas dari lepas pantai, tapi tak banyak yang mereka rasakan dengan adanya perusahaan ini. Sebagian besar penduduknya tetap menjadi petani tambak dan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan, malah mereka mengeluhkan air sungai yang semakin pekat sehingga panen udang mereka tak tentu. Kalau saat ini ada listrik itu karena adanya fasilitas PNPM dan sekali lagi hidupnya pun cuma dari Magrib sampai jam 7 pagi.
Saat pulang, kami melewati jalur yang berbeda. Kami menyelusurin sungai Sepatin yang kanan kirinya tambak yang telah hancur. Diujung sungai berjajar kapal-kapal ikan dimana mereka membawa keluarganya hidup dikapal juga. Aku benar-benar melihat dari dekat kehidupan mereka, dari memasak, cucian tidur mereka lakukan dalam kapal. Hanya Mushola mereka yang terlihat didarat. Selama ini yang pernah aku tahu hanya suku Bajau di Sulawesi yang hidup dikapal, ternyata orang-orang Kutai ada juga yang hidup di atas kapal.
Air mulai pasang saat speed kami mulai meninggalkan sungai Sepatin, gelombang mulai tinggi, hantaman air membuat speed tergoncang-goncang. Biarpun badan sakit, tapi inilah hidup yang lebih berwarna.

Sepatin, Jum`at, 9 Maret 2010

1 komentar:

habibi daeng mengatakan...

Melihat foto pohon nipah/rumbia itu saya jadi teringat dengan kampung di mana saya dilahirkan. Nice. Salam persohiblogan :)