Kamis, 25 Maret 2010

Nasib Ku

Sudah 2 minggu ini sendiri, sejak temen pulang ke Jawa, hanya sesekali orang datang, yang rutin hanya tukang koran, tapi saat hujan tiba seperti ini, juga tidak datang, harus besuk. Telepon sudah dari seminggu yang lalu diblokir karena bulan ini menunggak, Hp sejak 3 hari yang lalu sisa pulsa tinggal seribu, dan hari ini sisa empat ratus rupiah.

Sesekali masih ada telepon dan semoga ini bisa menyelesaikan masalah saat ini dan yang lalu – lalu. Tiga hari lalu ada telepon dari Jakarta, masih ada juga teman yang mau mendengar sharingku, setidaknya bisa memberikan sedikit pencerahan.

Ramalan zodiac minggu ini yang aku sering baca di koran harian lokal, “Minggu ini sedikit malas bekerja, cenderung cuek karena tak ada tujuan yang pasti, padahal bisa saja serius kalau kamu mau”. Pas banget……bukan untuk mempercayai terhadap ramalan itu, tapi memang pas banget dengan suasana hatiku. Sudah semingguan ini hanya bengong, game, tv, winamp. Malas rasanya ngapa – ngapain. Tapi anehnya badan rasanya capek semua.

Dan pagi ini, saat mata baru terbuka ternyata hujan telah mendahului, malas rasanya untuk bangun, tapi tetap ku paksakan untuk bangun. Biar pun cuek tapi aku masih tau diri, karena ikut orang. Jam 8 lewat baru kulangkahkan kaki ke kantor karena sebuah tanggung jawab biarpun dikantor hanya nonton TV nanti, hujan juga belum mau berhenti. Meniti tangga sampai lantai 4 membuat nafas tersengal - sengal, sudah ku bongkar semua isi tas, tapi tak ku temukan yang aku cari. Ya Allah kunci ketinggalan lagi di rumah. Baru ku ingat kemarin saat pulang kunci aku masukkan ke dalam kantong. Terpaksa aku harus pulang lagi.

Ah.......Nasib ku......
Semoga ada yang lebih baik dari ini semua.


Palangka, 23 Maret 2010

Kamis, 18 Maret 2010

Campur Rejo Cerita 3

Saat Panen……

Padi mulai menguning dan kelobot jagung sudah kering

Bapak sudah berangkat ke sawah biarpun ayam baru berkokok. Ibu sudah sibuk didapur sedari subuh untuk memasak. Saat matahari mulai bersinar, setangkup pisang ijo, nasi tumpeng, ayam panggang, botok, pelas, kulupan, sudah siap ditata dalam tenggok, tak lupa takir dan telur ayam jawa untuk sesaji.

Tak lama bapak datang untuk mengambil, ibu ikut serta kesawah pagi ini.

Sesampai di sawah yang tak seberapa luas, sudah ramai dengan orang – orang “Ngarit” (cari rumput), mereka saling berpacu memototong batang padi yang sudah kering.

Iya…..hari ini saatnya panen padi, setelah 3 bulan menunggu. Biarpun hasilnya hanya cukup untuk makan sendiri, tapi mereka terlihat gembira. Pak tani bisa bernafas lega melihat butir – butir pagi dalam karung dan para pencari rumput sedikit senang karena tak perlu susah payah mencari rumput untuk ternaknya setidaknya 2 hari kedepan.

Matahari sudah beranjak sampai diatas kepala, didalam gubuk ditengah pematang sawah ibu menghampar karung dan menyiapkan makanan yang dibawanya dari rumah untuk orang – orang yang kerja hari ini. Sebelum dibagikan pada orang – orang yang ikut membantu panen padi, potongan nasi tumpang dan sedikit lauk pauk diambil dan dibuang di pojok sawah dekat aliran sungai untuk “Dewi Sri” katanya. Dewi padi dan sebagai ungkapan rasa syukur pada Tuhan atas panen tahun ini.

Baru setelah itu mulailah makan bersama diatas pematang sawah dan teriknya matahari. Selembar daun pisang dibagikan untuk tempat makan. Biarpun badan penuh dengan keringat dan tangan masih kotor tetapi tak menyurutkan langkah untuk makan. Sedikit nasi putih, botok, pelas, sayur, sambel ”kambil” (kelapa), dan sedikit daging ayam terlihat nikmat di tambah rasa kebersamaan dan kegotong royongan. Sesekali diiringi guyonan dan obrolan kecil dari bapak – bapak dan ibu – ibu.

Butir – butir padi sudah dimasukkan dalam karung, damen – damen sudah selesai ditali. Bapak mulai mengangkutnya ke dalam pick up sewaan.
Malam ini bapak bisa tidur nyenyak, sambir terus berharap besuk tidak hujan sehingga bisa menjemur padi.


Palangka, 18 Maret 2010

Kamis, 11 Maret 2010

Campur Rejo Cerita 2

Kampungku yang harmonis dan dinamis…..


Tak banyak yang berubah dari kampungku dari dulu sampai sekarang, hanya saja rumah – rumah kayu dan bambu yang dulu mendominasi sudah jarang terlihat, semua berganti dengan tembok.

**************

Kaki kecil berlari diatas jalan yang berbatu, tak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Sekumpulan ibu – ibu berkumpul dan bercanda ria di kamar mandi umum depan rumah untuk menjalankan aktifitasnya mencuci & mandi.

Beberapa tahun lalu jalan berbatu itu sudah diaspal dengan dana swadaya masyarakat. Itu yang bisa dibanggakan, rasa kekeluargaan dan kegotong royongan masih melekat kuat di kampungku biarpun dijaman moderen seperti ini sulit ditemui. Kumpulan ibu – ibu yang beraktifitas di kamar mandi umum juga masih ada sampai sekarang. Aku tak tahu mengapa, padahal sebagian besar sudah memiliki kamar mandi sendiri. Sedikit menurut pendapat ibuku, ke kamar mandi umum itu sebagai bentuk sosialisasi dengan tetangga. Ah……alasan yang aneh meskipun bisa masuk akal juga. Aku tak tahu pasti sudah berapa lama kamar mandi umum itu ada, dari aku kecil sudah ada disitu.
Aku tak akan panjang lebar cerita tentang kamar mandi itu, karena dulu aku juga pernah mandi bersama disitu.

**************

Alunan lagu jawa (campursari) mulai mengalun keras dari pengeras suara, tandanya ada orang hajatan di kampung. Jauh – jauh hari sehabis masak di rumah masing - masing, ibu – ibu sudah berkumpul untuk masak memasak di rumah yang punya hajat, buat makanan kecil dan bumbu – bumbu. Sedangkan bapak – bapak, seminggu sebelum dan seminggu sesudah acara, setiap malam datang kerumah yang punya hajat untuk “lek – lek an”, tentunya dengan kartu remi yang menemani. Begitu juga saat ada kematian di kampung, dari sebelum pemakaman, acara 7 hari sampai nyewu (1000 hari) ibu – ibu saling bantu – membantu untuk masak dan menyiapkan keperluan selamatan, sedangkan malam harinya bapak – bapaknya datang untuk memberikan doa dan makan – makan.

Saat bulan puasa tiba, menjadi musim selamatan. Hampir tiap hari ada orang yang mengadakan, bahkan bisa bersamaan, yang ”ngirim ngluwur” , ”unggahan”, ”suran” dan tak tahu lagi apa namanya. Biarpun anak perempuan (biasanya yang selamatan laki – laki), waktu masih kecil aku suka ikut, bawa plastik kresek untuk bawa berkat, pisang, apem, atau secuwir daging ayam. Itu sangat menyenangkan, maklum dulu hanya waktu – waktu tertentu bisa makan dengan ayam.

******************

Tahun 80 an, TV menjadi barang langka, TV hitam putih yang embah miliki jadi alternatif hiburan bukan hanya keluarga tetapi juga warga kampung. Sehabis Magrib rumah sudah mulai penuh dengan orang untuk menonton srimulat atau area ria safari yang populer saat itu. Setelah sepuluh tahun tetangga sebelah memiliki TV berwarna yang dibawanya dari Jakarta. Mulailah orang – orang beralih kesitu, termasuk keluargaku. TV hitam putih yang kami miliki sudah tak asik lagi untuk di tonton karena hanya ada stasiun TPI waktu siang dan TVRI saat malam.
Aku ingat saat tragedi kerusuhan tahun 98 yang mencekam, pertama kali aku melihatnya di rumah tetangga itu.

Telenovela Marimar yang pernah tanyang di stasiun swasta, menjadi favorit ibu – ibu dan menjadi aktifitas baru ibu – ibu setiap sore untuk melihatnya. Sedangkan anak – anak setiap hari minggu dari pagi sudah standby disitu untuk menunggu film ksatria baja hitam, winspeaktour, jiban dan film impor dari Jepang lainnya.

Sekarang sudah puluhan tahun, hampir setiap rumah memiliki TV dan TV hitam putih kami menjadi barang rongsokan.

Campur Rejo Cerita 1

Alamku Tak Seperti Dulu…….

Puji syukur kehadirat Tuhanku
Untuk segala ciptaan
Untuk udara yang tak pernah habis
Untuk air yang selalu mengalir
Untuk tanah yang penuh berkah
Yang semuanya Kau jadikan untuk menghidupi mahluk-mahluk ciptaan - Mu.
***********

Kabut tipis mulai turun dari lereng gunung menyambut pagi. Dingin udara khas pegunungan menusuk sampai tulang, langit merah mulai nampak dari timur, menyinari separuh badan gunung, semakin siang semakin keatas dan hijau pepohonan mulai tampak jelas.

Jalan aspal hitam yang mulai berlubang sana – sini seakan buntu di ujung jalan, terhalang dinding raksasa yang menjulang nan kokoh. Rumah yang berderet seakan bertabir dengan alam yang begitu dekat.

Suara hewan – hewan mulai terdengar bersama dengan dimulainya aktifitas manusia.

Kampung kecil di kaki Gunung Lawu, yang begitu majemuk. Aku sangat rindu segarnya udara pagi, rindangnya pohon – pohon pinus dengan bau khas getah rukem, dinginnya air yang jernih dan indahnya “Watu Kelir” yang ditumbuhi rumput – rumput liar.

Sungai kecil di belakang rumah yang jernih sudah lama tak mengalir, demikian juga dengan sungai di bawah lereng itu, kering. Hanya onggokan batu – batu besar sekarang yang ada, sesekali saat hujan tiba sungai – sungai itu ada airnya. Beberapa tahun lalu banjir bandang menghanyutkan batu – batu besar dari atas bukit, yang membuat sungai – sungai itu mati, padahal banyak kenangan aktifitas disitu biarpun itu hanya “BAB”.

Saat orang – orang mulai bertambah banyak, air – air jernih dari sumber di atas bukit di ambil dengan pipa – pipa untuk dibawa kekampung, lahan – lahan garapan di anak gunung semakin luas. Sedangkan pohon – pohon pinus yang dulunya hijau mulai kikis di tebang dan dilahap api. Hampir tiap tahun, khususnya saat kemarau panjang kebakaran terjadi. Terakhir saat puasa tahun lalu, dari depan rumah bisa dilihat titik api bagaikan lampu – lampu kota.
Aku selalu heran dan bertanya pada bapakku, kenapa kita hanya bisa taman padi setahun sekali itu pun tergantung dengan musim hujan, sedangkan dulu bisa 2 kali dan sekali palawija, padahal kita hidup di daerah pegunungan, saat ini belum ada orang yang sadar dan mau mencari solusi dan inisiatif – inisiatif untuk mengembalikan gunung seperti dulu. Air hanya cukup untuk minum, mandi dan cuci saat ini itu kalau musim kemarau alirannya sangat kecil sekali, dan mulai banyak diributkan banyak orang, sedangkan untuk lahan persawahan yang tak begitu luas sudah tak kebagian..

Entah sepuluh tahun kedepan seperti apa wajah kampung ku, mungkin anak cucu ku hanya bisa mendengarkan cerita tentang pabrik gondo rukem yang telah lama terbakar, enaknya sayur “Jrembak” yang dulu banyak tumbuh di sungai atau bahkan mereka malah sibuk dengan perkembangan dunia maya.

Palangka, 10 Maret 2010

Senin, 08 Maret 2010

Oh.....Negaraku

Beberapa hari lalu mendengar cerita tentang fit and profertes di DPR dari seorang teman, besoknya melihat tingkah polah para anggota perwakilan rakyat saat sidang paripurna dan hari ini baru membaca dan melihat tentang money politik. Aku orang awam yang tak tahu hukum dan politik. Terus terang awalnya aku tak tertarik mengikuti kasus Century, pikirku kasus BLBI yang sampai ratusan trilyun tak tuntas apalagi century, tapi mendengar gaungnya yang heboh di TV jadi tertarik juga. Mulai saat Sri Mulyani memberikan kesaksian di pansus sampai terakhir tadi malam mendengarkan pidato Presiden menanggapi rekomendasi pansus.

Sebagai orang yang tak tahu carut marut dunia hukum dan politik, aku hanya bisa berpikir dan berandai sendiri. Alangkah banyaknya uang 6,7 trilyun itu, andai saja uang itu dibuat rusunawa yang 10% sudah masuk kantong untuk memperlancar proyek, akan berapa banyak gelandangan bisa tertampung, anak jalanan bisa sekolah dan berapa panjang jalan lintas propinsi di Kalimantan atau Papua bisa diaspal. Tapi negara begitu rumit, pertimbangan – pertimbangan politik mengalahkan logika dan yang nyata, terkadang yang putih menjadi hitam dan yang hitam menjadi abu – abu.

Fraksi PPP yang dalam voting 1 di pansus sepertinya mendukung alternatif I dengan menggabungkan rekomendasi A+C yang menurutku tak masuk akal tapi hanya dengan waktu yang kurang lebih 30 menit dalam voting 2 pendapat mereka sudah berbeda. Aku kutip pandangan akhir fraksi PPP dalam rapat pansus kemarin “Hakekatnya yang benar adalah benar dan tak selayaknya untuk di voting, seharusnya kebenaran di yakini secara aklamasi”. Apakah dengan rekomendasi C yang menjadi pilihan mereka merupakan sebuah kebenaran, entahlah yang pasti ada yang meyakini itu sebuah kebenaran dan pasti ada yang bertolak belakang, karena pikiran manusia berbeda – beda apalagi kalau sudah ada namanya kepentingan politik.

Hampir tiap hari berita kasus koropsi selalu saya baca di koran, dan hampir setiap ada proyek pemerintah selalu ada kebocoran anggaran. Anggaran pendidikan yang 20 trilyun sangatlah besar, tapi tetap saja tak bisa menyentuh masyarakat bawah, sekolah bukan gratis tapi malah tambah mahal dengan berbagai pungutan dan biaya – biaya yang tak lazim. Tetapi pejabat negara terus mendapatkan tambahan fasilitas yang sebenarnya tujuannya agar tidak menerima gratifikasi, toh juga korupsi masih saja ada di negeri ini. Sekali lagi aku hanya bisa berandai – andai, jikalau anggaran pendidikan 20 trilyun itu dapat tetap sasaran, anak tetangga ku pasti tak akan putus sekolah, padahal dia sangat mengharapkan bisa melanjutkan sekolah, tapi sebuah alasan yang klasik karena ekonomi keluarganya yang terbatas.

Belum lagi junjang ganjing Pemilukada yang menurut bahasa Banjar menjadi sebuah pertanyaan, hampir tiap hari wajah dan stetmen ibu yang cantik itu menghiasi koran lokal disini, dari masalah anggaran, Panwas sampai DPT. Jauh di kampung ku sana, berita tentang Pemilukada banyak menghiasi media infotainment yang biasa aku buka di internet, maklum salah satu calon nya dari kalangan artis. Lain kali akan kutanyakan pilihan ibuku untuk calon jagoanya.

Sebagai rakyat, keamanan dan kepastian usaha menjadi harapan, tapi harapan itu seakan semakin jauh bila melihat carut marut negara ini. Pak SBY sebagai presiden pilihanku semoga menjadi pemimpin yang bijak untuk kedamaian rakyat. Agar lima tahun kedepan bisa tersenyum mengembang seperti foto lima tahun lalu saat pertama kali manjadi presiden dan saat mengakhiri masa jabatannya menorehkan sejarah yang indah untuk negara ini.

Rabu, 03 Maret 2010

Kenangan

Mulai kubuka kembali ingatanku yang mulai usang, penuh dengan kenangan. Kampungku yang dingin menyimpan banyak kenangan yang tak kan pernah beku. Tentang keluargaku, masa kecilku, tetanggaku sampai teman masa kecilku.

Polah tingkah bocah kecil yang masih senang bermain dengan kenakalan – kenakalannya yang suka menggangguin temannya atau saat berebut gambar – gambar buah yang mengharuskan digantungkan pada papan sebagai tanda absen, dan saat lomba paduan suara di kabupaten, entah lagu apa yang dulu pernah kami nyanyikan aku sudah lupa, sedikit yang kuingat rok pendek warna hitam dengan atasan pendek warna kuning kecokelatan (seperti batik) dengan dasi kupu – kupu warna hitam dan topi warna senada dengan kemejanya seragam kami waktu itu. Menjadi kisah tak terlupakan saat masih di TK dulu.

Tak banyak teman satu sekolahku, maklum sekolah TK tak populer di kampung saat itu. Hanya kami berdua dilingkungan tempat tinggalku, teman masa kecilku, kami masih keluarga biarpun dulu banyak masalah dikeluarga kami. Umur kami hanya beda satu tahun, sejak kecil kami tumbuh bersama, bermain bersama, bersekolah bersama, terkadang kami bandel juga bersama. Suatu hari kami disuruh bawa makan kesekolah, tapi hanya kami berdua yang lupa tak membawa.

***********

Ruangan yang cukup luas dengan bangku – bangku dari kayu disusun berjajar lima dan sebuah papan tulis hitam yang bersebelahan dengan WC yang kotor dan bau, kelas pertamaku di SD.
Bangunan keseluruhan berbentuk L dengan halaman tanah liat yang luas dan becek saat hujan. Pohon beringin yang besar ada di depan kantor guru, dibawahnya tempat kami menyanyi saat upacara. Tempat favoritku taman kecil diujung, tempat kami berkumpul sambil menghafalkan nama – nama Menteri zaman orde baru. Di sebelah lapangan ada satu rumah yang dulu ditempati salah satu guru kami dan tempat dimana saat istirahat jam pertama kami menonton film Ramayana dengan berdesak – desakan.
Sudah lama aku tak melihatnya, 10 tahun lebih, semua pasti sudah berubah, semoga lapangan becek itu sudah tidak ada.
Sekolah SD dikampung sebelah yang tak diunggulkan, muridnya sebagian besar anak petani yang tak bersepatu ke sekolah dan tas plastik hitam untuk membawa bukunya yang ujung menggulung. Banyak orang menyebutnya SD ”Setro” dan banyak orang pula yang menganggap SD yang tak berkualitas, dan aku selalu sakit hati dengan itu.
Agak jauh sekolahku dari rumah, harus melewati ladang – ladang yang sepi dengan jalan batu yang kasar dan menyebrangi jembatan bambu.

Menjadi kenangaan saat kami biasa bermain engklek atau ditempatku biasa disebut ”Gaco”, bermain karet atau kelereng yang mungkin saat ini sudah tak populer lagi. Atau saat berkumpul di depan peta besar untuk mencari nama – nama kota atau mencari letak gunung ibu. Latihan SKJ, membuat tandu untuk persiapan kemah, latihan gerak jalan dan drama untuk lomba di kecamatan.

Ada 35 teman sekelasku sampai kami tamat, yang sempat kutulis kembali nama – namanya di diaryku untuk mengingatkannya. Sebagian masih ada dikampung sebagian lagi entah kemana. Ada yang sudah berkeluarga, ada yang belum dan ada yang sudah tiada.

Terakhir berkaitan dengan WC yang bau, akan selalu kukenangan saat kami dihukum guru olah raga untuk membersihkan WC dan kami berolok – olok karena hal itu.

Kenangan selalu menjadi kenangan yang tak akan pernah terlupa.