Senin, 21 Juni 2010

Kisah Gadis Yang Tersisip

Arus urbanisasi yang kemudian meluas dalam globalisasi mengucurkan air liur para gadis desa. Melihat teman-teman sebaya yang mudik dengan kulit bersih bebas daki plus dandanan seksi aneka rupa benar-benar bikin hati mulai tergiur. Terbersitlah dengus di dada seorang gadis, “Aku mau seperti mereka!” Tekad baja untuk segera meninggalkan kampung halaman mencuat sedemikian kuat.


Untung pun dapat diraihnya. Hidup baru di tempat baru menggelinding cepat. Dengan sedikit polesan saja, tampang, body, dan gemulainya bikin berkedut mata yang memandang. Tak butuh waktu lama, dompetnya sudah penuh barang baru: kartu tabungan. Dunia terasa indah dirasa. Matanya nanar dalam kesukaan. Sesekali setumpuk uang dikirim untuk ibunya yang sedirian di desa.

Di tengah terang benderang di siang bolong, tiba-tiba petir menyisir hati menjadi getir. Tak tahu mengapa, perasaan itu menusuk sampai di ulu hati. Meski sekian banyak pencapaian dinikmati, tetapi sanubari tak mati. Ada residu yang mengguratkan jeritan untuk menghentikan keadaan bobrok yang bertahun-tahun dialami. Kehidupan baru sebagai seorang pelacur tak menandaskan kebahagiaan sempurna.

Lelehan air mata mulai membual dari sumbernya. Ia sedih, menangis, dan menyesal. Martabatnya serempak menggeliat serasa diinjak-injak. Meski bau harum alami ramuan kraton mengoles kulitnya yang semakin halus mulus, ia tetap merasa terhina. Dalam gumpalan uang yang berserak-serak, batinnya tersiksa. Ia terkulai, lemas, dan kaku.

Di ujung kepedihan mendalam, ia mantap untuk pulang. Setelah kerja malam, ia melangkah kembali ke desanya. Dahulu berangkat dengan riang gembira menukil sejuta harapan, kini pulang dengan kaki gontai penuh gemetaran. Ia menatap pilu halaman rumahnya. Secercah muncul keheranan, lampu depan di beranda masih menyala. “Ada tamu rupanya?” pikirnya. Gagang pintu dipegang, wooow… tak terkunci. Namun, tidak ada tamu yang menyaru. Ia pun langsung mempercepat langkah menuju pintu kamar ibunya.

Pelan-pelan ia ketok-ketok pintu kamar itu. Secepatnya pintu terbuka. Gadis pun bertanya, “Ibu apakah ada tamu?” Jawab ibu dalam kekagetan itu, “Tidak ada tamu kok. Setiap hari memang begitu.”

“Kok pintu gerbang terbuka dan pintu rumah tidak dikunci? Lampu juga tetap bernyala, Bu?” tanyanya dengan nada sedikit tinggi. Ibu itu berkata dengan lembut, “Anakku… Sejak Engkau pergi dari rumah ini, pintu tidak pernah aku kunci. Lampu selalu bernyala pada malam hari. Karena ibu tahu, kapan saja Engkau mau kembali pintu itu tetap terbuka untukmu.

Rumah ini tetap Engkau punya. Ibu tahu bagaimana dirimu di seberang sana. Namun, ibu tetap mencintai Engkau, apapun dan bagaimanapun Engkau. Masuklah anakku… Aku bahagia Engkau pulang!” Mereka kemudian berpelukan erat dan menangis haru.

Posting dari haxims

Senin, 07 Juni 2010

KLEDEK

Tubuhnya gemulai, pinggulnya lenggak – lenggok diatas panggung, sesekali tangannya memainkan selendangnya yang terikat di lehernya. Alunan musik koplo semakin menghentak membuat gerakannya tambah lincah. Biarpun usianya sudah paruh baya tapi gerakannya masih aktraktif tak kalah dengan yang muda. Dandannya menor dengan kemben rendah untuk memikat penonton. Panggil saja namanya JUMINTEN. Umurnya sudah lewat dari setengah abad. Sejak belasan tahun dia sudah disuruh ayahnya untuk “Ngledek”. Sekolahnya tak sampai tamat SD. “Belajar nyinden lebih baik untuk cari uang”, kata ayahnya dulu.

Dimasa kecil dia menjadi tukang ngasak, saat tetangganya panen “telo abang”, diajak ibunya untuk ngasak telo – telo boleng yang tak laku jual. Saat panen padi dia diajak buleknya derep. Juminten anak pertama dari tujuh bersaudara, adik – adiknya tak berbeda jauh usianya.

Dimasa remajanya dia menjadi kledek yang terkenal, parasnya yang ayu membuat dia menjadi kledek yang laris – manis. Dari hasil ngeldeknya dia bisa membeli baju – baju yang bagus, bedak, benges dan perhiasan, yang membuat iri gadis – gadis seusianya di kampung. Dimasa kejayaannya hampir tiap hari ada saja yang mengundangnya, bahkan tak jarang dia diundang pejabat – pejabat kabupaten.

Dari pekerjaan menjadi kledek dia ketemu dengan seorang laki – laki, MARNO namanya, yang berprofesi sebagai tukang kendang. Yang akhirnya mau menikahinya biarpun dia sudah mempunyai seorang anak laki – laki yang tak diketahui ayahnya. Entah apa tujuan Marno mau menikahinya, mungkin karena Juminten memang ayu, atau karena Juminten kaya raya.

Setelah menikah Marno setia menemani kemana Juminten mau tampil. Mobil Suzzuky Carry tahun 89 menjadi kendarahan yang mewah dikampung. Marno menjadi sopir pribadi yang siap mengatar kemana saja Juminten mau pergi, bahkan merangkap sebagai manager pribadi yang saiap mencari job untuk Juminten, bahkan untuk pekerjaan tambahan untuk melayani laki – laki lain.

Stigma kledek sebagai wanita ”penghibur” tak bisa bisa dia tolak, memang dia juga melakoninya. Jauh sebelum dia menikah dengan Marno. Sudah bukan rahasia lagi anak – anak lakinya yang pertama tak diketahui siapa ayahnya, dari desas desus orang – orang dikampung, ayahnya adalah kepala desa kampung sebelah. Rumah gedongnya yang berjajar dua dan berlantai tekel dikasih selingkuhannya yang juragan telo, dan mobil suzzuky carry pemberian seorang pejabat kabupaten.

Saat usianya sudah tak muda lagi dan kledek – kledek muda mulai bermunculan sedikit – demi sedikit pamor mulai turun, tapi dia selalu berusaha agar dia masih tetap laku dan laris. Marno, suaminya mengajaknya kerumah Embah Tro, orang pintar dikampung yang disegani, untuk minta jampi – jampi pelaris dan pemikat. Setiap kali sepi undangan ngledek, Embah Tro menjadi andalan.

**************************
Dulu juminten sudah mendapatkan semuanya, harta, ketenaran & kebahagian duniawi, sekarang tuhan mulai mengambilnya satu persatu. Dia sudah tak selaris dulu, bayaranya juga tak semahal dulu, pamornya kalah dengan kledek – kledek yang masih muda. Jampi Embah Tro juga sudah tak mempan. Anak perempuannya stes karena hamil ditinggal pacarnya, sedang anaknya yang pertama sudah dua tahun masuk penjara karena jadi pengedar narkoba.

Satu gending sudah berlalu, Juminten undur kebelakang panggung sambil menghapus air matanya. Dalam hatinya dia mengadu pada Tuhan yang dulu tak pernah dia kenal, ”Duh Gusti, nyuwun pangapunten, kulo mboten kiat, paringgono kulo kakiatan”.



Palangka, 7 Juni 2010