Selasa, 05 April 2016

Menyelusuri Kenangan



Lama aku tak menengok blok ini, akhirnya setelah sekian lama kumulai lagi menyusun huruf-huruf merangkai kata menjadi kalimat yang tak berarti.
Kumulai dengan ucapan syukur tiada tara….Allah telah memberi semua kebaikan kepadaku, tangis, penyesalan smua kecewa…rasanya hanya munafik dari diriku. Aku selalu lupa menyadari karunia Allah yang luas tak terhingga. Banyak nikmat yang tercurah, yang harus aku lebih syukuri.
Kumulai lagi tulisanku dengan perjalananku ke Kabupaten Bulungan awal Maret lalu. Sudah 2 tahun aku tak kesini, tak banyak berubah tapi ada yang berubah. Sepanjang tepian sungai Kayan menjadi cantik, enak untuk dibuat jogging. Dua tahun lalu tak pernah terbayang olehku, untuk berjalan-jalan disepanjang tepian sungai ini. Dalam ingatanku sepanjang tepian sungai ini hanyalah tanah becek jika hujan. Tapi sekarang menjadi taman dengan jogging track yang panjang, bunga-bunga dan lampu-lampu hias yang indah.
Sengaja aku jalan kaki menyelusuri sepanjang tepian sungai ini sore itu, hari itu memang panas terik, tapi senja di tepian sungai Kayan sangat indah. Dari balik pepohonan dibelakang pulau yang memisahkan sungai ini menjadi dua, matahari mulai tenggelam, sinarnya kekuningan terpancar diatas air sungai, terpendar dalam langit yang biru bersih. Sesekali mesin speed memecah keheningan air sungai. Teringat suatu masa dimana aku harus datang disalah satu desa dipulau itu. Desa dengan kedamaian, terbentang pohon jeruk yang manis dan keramahan penduduk desanya yang luar bisa. Disisi lain dari pulau itu, ada desa dengan budaya lokal yang masih kental. Ah….itu masa-masa aku masih kurus dan hitam tapi menyenangkan.
Kembali ketaman ini, tanam ini dimulai dari tugu cinta damai dan sepertinya menjadi maskot kota ini, baguslah sebuah pesan perdamaian untuk sebuah daerah yang multi etnis. Taman milik semua kalangan dari orang tua yang punya penyakit rematik dan suka berjalan dijalan batu-batu atau orang dewasa suka bersepada maupun anak-anak suka bermain jungkit.
Setelah beberapa tahun lalu menjadi ibu kota provinsi Kalimantan Utara, sedikit ada pembanguan. Tapi satu kata sepi masih terasa. Jauh lebih ramai kota Tarakan dibandingkan kota ini. Maklum dari sebelum pemekaran pembanguan dan perekonomian kota Tarakan lebih maju. Bekas kerusuhan karena masalah pilkada gubernur beberapa bulan lalu juga sudah tak terlihat. Kantor gubernur yang pernah dibakar masa sudah rapi. Sedikit beda dibelakang kantor gubernur terlihat gedung menjulang yang belum jadi. Mungkin buat perkantoran yang baru. Tempat penyebrangan klotok untuk ke kecamatan Tanjung Palas juga telah dibangun bagus, beda dengan 3 tahun yang lalu. Saat kami berfoto disitu.
Kota ini menyimpan banyak kenangan buatku. Es oyen didepan hotel tunas dulu menjadi favorit jikala panas. Dan yang selalu tak terlupa dari kota ini adalah ikan rebus di warung pujasera. Dulu ikan rebus menjadi menu tiap malam. Pasar sore masih seperti dulu, deretan toko-toko yang dulu tak pernah berubah. Sepanjang jalan diperkantoran masih seperti dulu, saat aku mengulangi menyusuri sepanjang jalan itu seperti dulu.
Cerita dan kenangan di kota ini akan selalu tersimpan dalam ingatan. Pahit, manis, indah dan lelah menjadi bagian dari  kisah perjalanan dikota ini. Entah kapan lagi ada kesempatan dan umur untuk datang lagi ke kota ini walapun hanya sekedar untuk mengenang. Suatu hari pasti akan ada rasa kangen itu. Akan kutulis guratan cerita dalam hati tentang sepenggal perjalanan yang luar biasa.

Senin, 12 Maret 2012

Cerita dari Kampung diatas Rawa

Pagi ini sedikit mendung, tapi tak hujan. Kami telah tiba di pelabuhan kecil dipinggir Sungai Meriam. Menelusuri sungai yang panjang seakan tak berujung. Lambaian daun nipah dipinggir sungai seakan menyambut atau bahkan mereka sebenarnya muak melihat tongkang batubara yang setiap hari hilir mudik dengan angkuh. Ini sebuah ketidak adilan, puluhan tongkang tiap hari membawa batu bara melalui sungai sedangkan sepanjang jalan di Kaltim hancur tak tertambal.
Mulutku hanya bisa diam, tersumpal dengan rasa kekaguman yang luar biasa atas karunia Tuhan, atas sungai yang elok, pohon yang indah, dan orang-orang yang tercipta luar biasa, yang mau dan mampu tinggal jauh diatas gemuruh air. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa memikirkan kata-kata yang bisa kurangkai untuk mengungkapkan semua ini. Deretan pipa-pipa gas tersambung sampai lepas pantai. Sesekali speed boat hilir mudik memecah riak sungai, puluhan tongkang  kosong berjajar rapi.
Tak pernah terbayang diujung sungai nanti ada kampung yang ramai seperti kota diatas air. Tapi ini nyata, keterbatasan tak terlihat, rumah-rumah diatas rawa berjajar melingkari jalan ulin yang licin karena gerimis dan berjajar rapat. Toko-toko kelontong, toko baju sampai toko peralatan bangunan lengkap sudah ada yang jual, tabung gas, sampai kulkas dan alat listrik lainnya ada yang punya, entah kapan mereka bisa menggunakannya kalau listrik hidupnya dari Magrib sampai jam 7 pagi. Kami sampai di kampung ini beberapa saat sebelum sholat Jum`at. Kampung ini cukup agamis, hari Jum`at mereka libur tidak mencari ikan. Anak sudah pulang sekolah, sudah ada sekolah dasar sampai SMP. Syukurlah setidaknya anak-anak kampung ini biarpun jauh dari daratan kota masih bisa mengenal namanya sekolah.
Tuan rumah yang kami datangi sangat baik dan ramah, orang bugis kelihatannya. Kami dimasakkan berbagai masakan khas penduduk pinggir sungai, kepiting saos, udang goreng, ikan bakar dan kerupuk udang bikinan sendiri. Ibu yang punya rumah banyak bercerita tentang anak-anaknya (yang paling bontot kembar) dan kehidupan warga kampung. Warga kampung sebagian besar adalah nelayan dan petani tambak, yang unik kebiasaan janda-janda di kampong ini, setiap habis subuh sampai petang mereka menyelusuri sungai hanya untuk memacing ikan, udang, kepiting dan mencari getah damar. Saat aku ijin ke belakang untuk pipis, ibu yang punya rumah, “Ibu kami belum punya WC, begini seadaanya”, tapi yang membuat aku terkejut biar tidak punya WC tapi punya mesin cuci dan Happy Pan yang selama ini hanya pernah aku lihat dari iklan ditv lokal. Ah……ini karena sudah maju atau termakan kemajuan jaman yang semakin edan.
Kampung ini bersebelahan dengan perusahaan besar yang mengebor gas dari lepas pantai, tapi tak banyak yang mereka rasakan dengan adanya perusahaan ini. Sebagian besar penduduknya tetap menjadi petani tambak dan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan, malah mereka mengeluhkan air sungai yang semakin pekat sehingga panen udang mereka tak tentu. Kalau saat ini ada listrik itu karena adanya fasilitas PNPM dan sekali lagi hidupnya pun cuma dari Magrib sampai jam 7 pagi.
Saat pulang, kami melewati jalur yang berbeda. Kami menyelusurin sungai Sepatin yang kanan kirinya tambak yang telah hancur. Diujung sungai berjajar kapal-kapal ikan dimana mereka membawa keluarganya hidup dikapal juga. Aku benar-benar melihat dari dekat kehidupan mereka, dari memasak, cucian tidur mereka lakukan dalam kapal. Hanya Mushola mereka yang terlihat didarat. Selama ini yang pernah aku tahu hanya suku Bajau di Sulawesi yang hidup dikapal, ternyata orang-orang Kutai ada juga yang hidup di atas kapal.
Air mulai pasang saat speed kami mulai meninggalkan sungai Sepatin, gelombang mulai tinggi, hantaman air membuat speed tergoncang-goncang. Biarpun badan sakit, tapi inilah hidup yang lebih berwarna.

Sepatin, Jum`at, 9 Maret 2010

Jumat, 24 Februari 2012

CINTA DAN WAKTU


Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. CINTA sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tidak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air semakin naik membasahi kakinya.
Tak lama CINTA melihat kekayaan sedang mengayuh perahu, Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!, teriak CINTA Aduh! Maaf, CINTA!, kata kekayaan Aku tak dapat membawamu serta nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini. Lalu kekayaan cepat-cepat pergi mengayuh perahunya. CINTA sedih sekali, namun kemudian dilihatnya kegembiraan lewat dengan perahunya. Kegembiraan! Tolong aku!, teriak CINTA. Namun kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak dapat mendengar teriakan CINTA. Air semakin tinggi membasahi CINTA sampai ke pinggang dan CINTA semakin panik.
Tak lama lewatlah kecantikan Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!, teriak CINTA Wah, CINTA kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu pergi. Nanti kau mengotori perahuku yang indah ini, sahut kecantikan. CINTA sedih sekali mendengarnya. Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itulah lewat kesedihan. Oh kesedihan, bawalah aku bersamamu!, kata CINTA. Maaf CINTA. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja.., kata kesedihan sambil terus mengayuh perahunya. CINTA putus asa.

Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara. CINTA! Mari cepat naik ke perahuku! CINTA menoleh ke arah suara itu dan cepat-cepat naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya. Di pulau terdekat, CINTA turun dan perahu itu langsung pergi lagi. Pada saat itu barulah CINTA sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa yang menolongnya. CINTA segera bertanya pada penduduk pulau itu.Yang tadi adalah WAKTU, kata penduduk itu. Tapi, mengapa ia menyelamatkan aku? Aku tidak mengenalinya. Bahkan teman-temanku yang mengenalku pun enggan menolong tanya CINTA heran.

Sebab HANYA WAKTULAH YANG TAHU BERAPA NILAI SESUNGGUHNYA DARI CINTA ITU

SEPENGGAL KISAH DARI MUARA SUNGAI

Pagi ini aku sudah siap jam 6 pagi, hanya satu harapan semoga cuaca cerah tidak hujan. Persiapan yang bribet bikin demun smua orang, perjalanan 2 jam dengan mobil menyelusuri jalan penuh lubang diantara kanan kiri kubangan tambang dan gunung yang telah habis digerus, sungguh pemandangan yang sangat ironis….
Muara Jawa………..
Speed mulai menyelusuri sungai panjang perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan, lama kelamaan semakin cepat dengan hentakan-hantakan yang membuat jantung berdebar. Aku sangat menikmati pagi ini birunya langit, riak-riak sungai hembusan angin, air sungai yang amis dan lambaian daun nipah, menyertai sepanjang perjalanan. Speed mulai masuk ke anak sungai kecil dengan pelan-pelan. Aku berpikir inikah kehidupan orang di pinggiran sungai yang jauh dari peradaban darat apalagi kota….. jikalau speed sampai kenapa-napa kadas, karam atau kebalik sejam kemudian mungkin baru ada orang yang tahu, tanpa ada pengaman yang standar (pelampun dan alat komunikasi) meraka biasa hilir mudik menyelusuri sungai2 ini yang seakan tak berujung dengan tenang. Belum lagi kalo ada buaya di rawa, ah…..ku tepis smua angan burukku, aku pasrah sama Allah apa yang akan terjadi nanti, yang penting ini asik juga untuk dinikmati.
Perjalanan yang lumayan panjang satu jam lebih diatas speed, sampai juga disebuah perkampungan terapung hanya 30 kk dalam satu RT, dengan kehidupan yang sederhana bergantung dari hasil tangkapan ikan dan tambak mereka bertahan hidup. Kanan kiri depan semua air. Satu yang membuat aku penasaran bagaimana mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya, ini bukan bukan masalah uang tapi jauhnya sekolah yang harus mereka jangkau tanpa ada jalan darat atau kendaraan umum, satu-satunya kendaraan untuk transportasi mereka hanya speed, untuk mencapai kota kecamatan sekali jalan bolak-balik minimal Rp. 300.000,- untuk biaya beli bahan bakar. 
Gubrak…….
Duh Gusti….ini sangat tak adil bagi mereka. Tapi apa daya mereka masyarakat pesisir yang termajinalkan oleh isolir dan ketidak perdulian dari elit politik yang dengan enak mengendarai mobil mewah dan hanya mau menyelusuri jalan-jalan mulus ibukota. Biarpun katanya pro rakyat tapi semua itu hanya sebuah kalimat manis yang diagapnya sebagai hiburan atau penghibur yang sebenarnya rakyat tidak butuh itu, mereka hanya mengingikan semua nyata. 


Muara Jawa, Desa Muara Kembang Dusun Muara Ulu Besar 23 Februari 2012

Sabtu, 14 Januari 2012

Setahun

Tuhan….
Aku lupa….
Atau entah melupakan…..

Tak terasa sudah setahun….
Rasanya belum lama
Baru kemarin
Aku mempuyai jiwa baru
Hidup baru
Dan nyawa ini masih tersimpan diraga

Tuhan…..
Tak peduli apa mauku dulu
Ternyata nyawa ini lebih berharga
Dari segala rasa dan asa

Tuhan….
Aku…..
Tak perlu kesuksesan
Kesehatan itu perlu
Tak perlu sanjungan
Hanya kemudahan yang kumau

Tuhan….
Aku tak peduli akan hinaan
Hanya harapan yang terbentang
Aku tak takut lagi akan malam
Karena masih banyak yang tersayang

Tuhan…
Ampuni aku
Butiran air mata ini mengingatkanku
Akan sebuah karuniMu
Keagungan dan kuasaMu

Tuhan....
Aku sudah takmau
Cukup sudah yang lalu

Tuhan….
Ampuni aku
Dulu…..
Terlalu banyak mauku
Terlalu hina tingkahku
Terlalu lancang lidahku
Mungkin Engkau muak melihatku
Karena aku tak mau mengerti
Padahal Engkau selalu ada
Melihat
Mendengar
Mungkin aku terlalu tak sabar menunggu
Waktu indah yang telah Kau gariskan

Tuhan…….
Aku berucap syukur kepadaMu
Dengan sepenggal nafas…..

Samarinda, 14 Januari 2012

Kamis, 10 Februari 2011

Hari Ini

Akhirnya pagi ini datang juga dan aku harus pulang untuk kesekian kalinya. Ada rasa sedih dan lega dihatiku, mungkin ini sudah jalan Tuhan untuk ku. Kalu tidak begini mungkin aku tak kan pernah berani, hikmah dari semua ini.

Tak kuasa aku menahan air mata. Dulu hal ini yang aku harapkan, tapi aku tak pernah berani. Sekarang Tuhan telah membukakan jalan biarpun berat dan menyakitkan. Bagaimanapun disini tertinggal sedikit kenangan, banyak orang - orang yang aku tinggalkan baik suka maupun tidak.
Ada cerita menjadi nostalgia yang patut dikenang nati, entah kapan.

Tak terasa sudah 3 tahun, 13 Februari, 3 tahun lalu aku kesini untuk sebuah harapan dan harapan itu masih ada sampai kini, hanya ,asih tersimpan di hati.

Palangka 11 Februari 2011

Rabu, 02 Februari 2011

Semalam di dr. Moewardi

Tekatku sudah bulat, aku pasrah apapun yang terjadi. Doaku “aku kembalikan jiwa dan ragaku kepada – Mu ya Allah, aku ada karena kehenda Mu kalaupun aku harus mati itu karena takdirku”.

Perjalanan panjang 2 jam lebih jadi tak terasa, menikmati dingin dan indahnya lembah pegunungan, rasa gugup dan takut sirna. Proses admitrasi yang panjang dan lama jadi membosankan. Saat keputusan diambil, aku tinggal ikut, itu sudah tekatku. Ini pengalaman pertama dan terakhir, karena aku tak mau lagi.

Tidur dalam ranjang bangsal rumah sakit, tak pernah terbayang dalam benakku, biarpun sekelas hotel bagiku tak ada yang lebih nyaman dari kamar rumah kami yang dekat kandang sapi itu.

Dimulai dengan satu suntikan. Ini sudah yang ketiga kalinya.  Dan doa dari petugas spiritual.

Tidur malam terasa panjang, ranjang ini semakin tak nyaman. Jam 5 pagi sudah diminta untuk bersiap, mandi dan sholat. Tak lama jarum infuse sudah menancap ditangan, itu tak menjadikanku takut, tapi saat suster membawakan baju hijau, duh… Gusti……rasa tegang mulai menghantui. Mata selalu tertuju pada jam dinding. Akhrinya waktu itu datang juga, ranjang pelan – pelan didorong keluar menyelusuri lorong – lorong panjang. Semua mata seakan tertuju padaku. Entah berapa banyak Ayat Kursi kubaca, sebagian malah tak sampai selesai.
Lama menunggu giliran, membuat telapak kaki dan tangan menjadi dingin, muka sudah pucat. Aku sangat tegang.

“Mbak sakit apa?”
“Sebesar apa?”
“Sudah berapa lama?”
“Tenang ya mbak”
Tanya setiap perawat yang lewat menghiburku. Untung Mbak Esti Komariah yang sekamar dengan ku juga sama – sama mau dioperasi jadi ada teman yang saling menguatkan.

Mbak yang FAM yang mana?

Deg……jantungku berdetak kencang, giliranku tiba. Ranjang mulai didorong masuk dalam ruangan besar mirip lap. di fakultas dulu. Mataku sengaja aku arahkan ke jarum jam dihadapanku tepat jam 08.30 dan aku tak mau lihat – lihat lain yang bikin aku tambah takut. Tiga lampu besar diarahkan ke badan sebelah kanan, kaki kanan diikat, kaki kiri ditempelin alat seperti tensi darah. Tangan kiri ditaruh pada lempengan kayu panjang, ujung jari tengah kanan dijepit seperti jepit baju tak lama terdengar tik tik tik……
Mulut dipasang oksigen.
Ambil napas dalam ya…..
Trus bernapas biasa. Kata perawatnya.

Disebelah kanan suara laki – laki sedang telepon.
“Pasien atas nama Sri Wahyuningsih sudah siap dioperasi”


Tak lama perawat lain bilang, “Dibius ya…. Les……

Mbak….tangi – tangi …….,wis – wis operasine……
Suara perempuan membangunkaku. Mataku masih sulit ku buka, semua remang – remang, tenggorokanku penuh dengan lender. Meski sulit ku paksa membuka mata, disebelah kiri jam dinding di tembok yang kulihat, disebelah kanan sepertinya ada pasien lain yang terbaring, ruangan ini panjang selebihnya aku tak tahu.

Tak ada ibu dan bapak dalam pikiranku kalau lama disini bagaimana aku bisa membuang ledir dalam mulutku, akhirnya kutelan juga.

Tak lama ranjang mulai didorong keluar, badanku terasa ringan, saat didepan pintu ku lihat bapakku berdiri.

Ya Allah, ternyata aku masih hidup, Alhamdulilah…..itu yang ku ucapkan pertama kali.

Rasa lega – plong – sudah dihatiku, biarpun didada kanan terasa sakit.


                        RS. Dr. Moewardi, Solo, 4 Januari 2011

Jumat, 26 November 2010

Kantor Terlalu Sepi

Kantor terlalu sepi begitu yang ingin aku tulis dan aku ungkapkan. Ini sudah tiga tahun, dari lantai 2 ke 4 sampai 3. Sekarang setelah sekian lama ada tiga hari dalam seminggu untuk aku dapat belajar banyak hal khususnya tentang hidup, biarpun dalam hati kadang menolak, tapi aku selalu berusaha untuk mengambil hikmah yang terpendam. Tapi sampai kapan?? Aku hanya bisa berdoa "Tuhan selamatkan aku dari kafir".

Terkadang banyak kertas - kertas yang menumpuk berserakan tak beraturan, tapi kadang lebih rapi dan bersih. Sering kali tragedi tinta yang tumpah kemana - mana. Ah......semua telalu sering sepi dan aku sendiri dini.

Siang mulai beranjak, matahari sudah diatas gedung. sepi tetap tak terpecahkan. Tapi aku akan selalu bersyukur sepi ini membawa ketenangan yang lebih baik.