Jumat, 24 Februari 2012

CINTA DAN WAKTU


Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. CINTA sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tidak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air semakin naik membasahi kakinya.
Tak lama CINTA melihat kekayaan sedang mengayuh perahu, Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!, teriak CINTA Aduh! Maaf, CINTA!, kata kekayaan Aku tak dapat membawamu serta nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini. Lalu kekayaan cepat-cepat pergi mengayuh perahunya. CINTA sedih sekali, namun kemudian dilihatnya kegembiraan lewat dengan perahunya. Kegembiraan! Tolong aku!, teriak CINTA. Namun kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak dapat mendengar teriakan CINTA. Air semakin tinggi membasahi CINTA sampai ke pinggang dan CINTA semakin panik.
Tak lama lewatlah kecantikan Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!, teriak CINTA Wah, CINTA kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu pergi. Nanti kau mengotori perahuku yang indah ini, sahut kecantikan. CINTA sedih sekali mendengarnya. Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itulah lewat kesedihan. Oh kesedihan, bawalah aku bersamamu!, kata CINTA. Maaf CINTA. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja.., kata kesedihan sambil terus mengayuh perahunya. CINTA putus asa.

Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara. CINTA! Mari cepat naik ke perahuku! CINTA menoleh ke arah suara itu dan cepat-cepat naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya. Di pulau terdekat, CINTA turun dan perahu itu langsung pergi lagi. Pada saat itu barulah CINTA sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa yang menolongnya. CINTA segera bertanya pada penduduk pulau itu.Yang tadi adalah WAKTU, kata penduduk itu. Tapi, mengapa ia menyelamatkan aku? Aku tidak mengenalinya. Bahkan teman-temanku yang mengenalku pun enggan menolong tanya CINTA heran.

Sebab HANYA WAKTULAH YANG TAHU BERAPA NILAI SESUNGGUHNYA DARI CINTA ITU

SEPENGGAL KISAH DARI MUARA SUNGAI

Pagi ini aku sudah siap jam 6 pagi, hanya satu harapan semoga cuaca cerah tidak hujan. Persiapan yang bribet bikin demun smua orang, perjalanan 2 jam dengan mobil menyelusuri jalan penuh lubang diantara kanan kiri kubangan tambang dan gunung yang telah habis digerus, sungguh pemandangan yang sangat ironis….
Muara Jawa………..
Speed mulai menyelusuri sungai panjang perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan, lama kelamaan semakin cepat dengan hentakan-hantakan yang membuat jantung berdebar. Aku sangat menikmati pagi ini birunya langit, riak-riak sungai hembusan angin, air sungai yang amis dan lambaian daun nipah, menyertai sepanjang perjalanan. Speed mulai masuk ke anak sungai kecil dengan pelan-pelan. Aku berpikir inikah kehidupan orang di pinggiran sungai yang jauh dari peradaban darat apalagi kota….. jikalau speed sampai kenapa-napa kadas, karam atau kebalik sejam kemudian mungkin baru ada orang yang tahu, tanpa ada pengaman yang standar (pelampun dan alat komunikasi) meraka biasa hilir mudik menyelusuri sungai2 ini yang seakan tak berujung dengan tenang. Belum lagi kalo ada buaya di rawa, ah…..ku tepis smua angan burukku, aku pasrah sama Allah apa yang akan terjadi nanti, yang penting ini asik juga untuk dinikmati.
Perjalanan yang lumayan panjang satu jam lebih diatas speed, sampai juga disebuah perkampungan terapung hanya 30 kk dalam satu RT, dengan kehidupan yang sederhana bergantung dari hasil tangkapan ikan dan tambak mereka bertahan hidup. Kanan kiri depan semua air. Satu yang membuat aku penasaran bagaimana mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya, ini bukan bukan masalah uang tapi jauhnya sekolah yang harus mereka jangkau tanpa ada jalan darat atau kendaraan umum, satu-satunya kendaraan untuk transportasi mereka hanya speed, untuk mencapai kota kecamatan sekali jalan bolak-balik minimal Rp. 300.000,- untuk biaya beli bahan bakar. 
Gubrak…….
Duh Gusti….ini sangat tak adil bagi mereka. Tapi apa daya mereka masyarakat pesisir yang termajinalkan oleh isolir dan ketidak perdulian dari elit politik yang dengan enak mengendarai mobil mewah dan hanya mau menyelusuri jalan-jalan mulus ibukota. Biarpun katanya pro rakyat tapi semua itu hanya sebuah kalimat manis yang diagapnya sebagai hiburan atau penghibur yang sebenarnya rakyat tidak butuh itu, mereka hanya mengingikan semua nyata. 


Muara Jawa, Desa Muara Kembang Dusun Muara Ulu Besar 23 Februari 2012