Rabu, 02 Februari 2011

Semalam di dr. Moewardi

Tekatku sudah bulat, aku pasrah apapun yang terjadi. Doaku “aku kembalikan jiwa dan ragaku kepada – Mu ya Allah, aku ada karena kehenda Mu kalaupun aku harus mati itu karena takdirku”.

Perjalanan panjang 2 jam lebih jadi tak terasa, menikmati dingin dan indahnya lembah pegunungan, rasa gugup dan takut sirna. Proses admitrasi yang panjang dan lama jadi membosankan. Saat keputusan diambil, aku tinggal ikut, itu sudah tekatku. Ini pengalaman pertama dan terakhir, karena aku tak mau lagi.

Tidur dalam ranjang bangsal rumah sakit, tak pernah terbayang dalam benakku, biarpun sekelas hotel bagiku tak ada yang lebih nyaman dari kamar rumah kami yang dekat kandang sapi itu.

Dimulai dengan satu suntikan. Ini sudah yang ketiga kalinya.  Dan doa dari petugas spiritual.

Tidur malam terasa panjang, ranjang ini semakin tak nyaman. Jam 5 pagi sudah diminta untuk bersiap, mandi dan sholat. Tak lama jarum infuse sudah menancap ditangan, itu tak menjadikanku takut, tapi saat suster membawakan baju hijau, duh… Gusti……rasa tegang mulai menghantui. Mata selalu tertuju pada jam dinding. Akhrinya waktu itu datang juga, ranjang pelan – pelan didorong keluar menyelusuri lorong – lorong panjang. Semua mata seakan tertuju padaku. Entah berapa banyak Ayat Kursi kubaca, sebagian malah tak sampai selesai.
Lama menunggu giliran, membuat telapak kaki dan tangan menjadi dingin, muka sudah pucat. Aku sangat tegang.

“Mbak sakit apa?”
“Sebesar apa?”
“Sudah berapa lama?”
“Tenang ya mbak”
Tanya setiap perawat yang lewat menghiburku. Untung Mbak Esti Komariah yang sekamar dengan ku juga sama – sama mau dioperasi jadi ada teman yang saling menguatkan.

Mbak yang FAM yang mana?

Deg……jantungku berdetak kencang, giliranku tiba. Ranjang mulai didorong masuk dalam ruangan besar mirip lap. di fakultas dulu. Mataku sengaja aku arahkan ke jarum jam dihadapanku tepat jam 08.30 dan aku tak mau lihat – lihat lain yang bikin aku tambah takut. Tiga lampu besar diarahkan ke badan sebelah kanan, kaki kanan diikat, kaki kiri ditempelin alat seperti tensi darah. Tangan kiri ditaruh pada lempengan kayu panjang, ujung jari tengah kanan dijepit seperti jepit baju tak lama terdengar tik tik tik……
Mulut dipasang oksigen.
Ambil napas dalam ya…..
Trus bernapas biasa. Kata perawatnya.

Disebelah kanan suara laki – laki sedang telepon.
“Pasien atas nama Sri Wahyuningsih sudah siap dioperasi”


Tak lama perawat lain bilang, “Dibius ya…. Les……

Mbak….tangi – tangi …….,wis – wis operasine……
Suara perempuan membangunkaku. Mataku masih sulit ku buka, semua remang – remang, tenggorokanku penuh dengan lender. Meski sulit ku paksa membuka mata, disebelah kiri jam dinding di tembok yang kulihat, disebelah kanan sepertinya ada pasien lain yang terbaring, ruangan ini panjang selebihnya aku tak tahu.

Tak ada ibu dan bapak dalam pikiranku kalau lama disini bagaimana aku bisa membuang ledir dalam mulutku, akhirnya kutelan juga.

Tak lama ranjang mulai didorong keluar, badanku terasa ringan, saat didepan pintu ku lihat bapakku berdiri.

Ya Allah, ternyata aku masih hidup, Alhamdulilah…..itu yang ku ucapkan pertama kali.

Rasa lega – plong – sudah dihatiku, biarpun didada kanan terasa sakit.


                        RS. Dr. Moewardi, Solo, 4 Januari 2011

Tidak ada komentar: